Rabu, 13 November 2013

Kasus Hukum Akil Mochtar dalam Sosiologi Hukum


Dimulai dari pengertian sosiologi hukum itu sendiri, menurut R.Otje Salman adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya secara empiris analistis.. Kemudian kita lihat juga latar belakang terlahirnya sosiologi hukum. Sosiologi hukum dipengaruhi oleh beberapa disiplin ilmu yaitu: filsafat hukum, ilmu hukum, dan sosiologi yang kajiannya berorientasi pada hukum.
1.      Filsafat Hukum
Di dalam kajiannya filsafat hukum, salah satu pokok bahasan adalah aliran-aliran filsafat hukum. Aliran-aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya sosiologi hukum adalah aliran Positivisme. Aliran dimaksud, dikemukakan oleh Hans Kelsen melalui teori Stufenbau des Recht-nya. Menurutnya “Hukum itu bersifat hierarkis”. Artinya: “Hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebuh atas derajatnya”. Dana adapula beberapa aliran filsafat hukum yang emndorong tumbuh dan berkembangnya sosiologi hukum, salah satunya adalah Aliran Sociological Jurisprudence, dari Eugen Ehrlich, yang konsepsinya: “hukum yang dibuat harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law).
2.      Ilmu Hukum
Kajian ilmu hukum yang menganggap bahwa “hukum sebagai gejala sosial”, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi hukum.
3.      Sosiologi yang Berorientasi pada Hukum
Para sosiolog berorientasi bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada solidaritas, ada solidaritas organis adapula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis, yaitu terdapat dalam masyarakat sedrhana, hukumnya bersifat represif yang disosiasikan seperti dalam hukum pidana. Sedangakan solidaritas organis, yaitu terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat restitutif yang diasosiasikan seperti dalam hukum perdata.

Kasus Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi)
Mahkamah Konstitusi merupakan sebuah lembaga peradilan yang dibentuk sekitar tahun 2003 pasca reformasi ketatanegaraan dengan diadakannya amandemen sebanyak 4 kali dimulai dari tahun 1999-2002. MK juga lembaga peradilan kedua setelah sebelumnya terdapat lembaga peradilan yang lain yaitu Mahkamah Agung (MA). Tugas dari MK ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Dan juga, MK dikenal dengan sebutan Guardian of the Constitution (Pengawal UUD).
            Ketua MK yang bermasalah yaitu Akil Mochtar, ia ditangkap oleh KPK, pada saat transaksi suap yang dilakukan oleh Tubagus Ari Wardana (Suami dari Walikota Tanggerang Selatan) sekaligus adik dari Gubernur Banten yaitu Ratu Atut Chosiyah bersama Chaerunnisa seorang pengacara. Akil Mochtar ditangkap di rumah dinasnya pada saat melakukan transaksi suap untuk kasus PILKADA Lebak Banten. Selain itu, di dalam ruang kerjanya terdapat obat-obatan terlarang.
            Dalam kasus ini Akil Mochtar bisa dikenakan Pasal 12 c UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 55 Ayar 1 ke-1 KUHP. Hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya  minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. Sedangkan, terkait dengan kepemilikan narkoba oleh Akil Mochtar bisa dikenakan Pasal 111 dan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di dalam peraturan perundang-undangan memang Akil Mochtar bisa dikenakan pasal-pasal yang disebutkan di atas. Selain itu, ada hal yang menarik dari kasus Akil Mochtar ini, banyak yang berkomentar bahwa hukuman yang paling tepat untuk Akil Mochtar adalah hukuman mati. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak disebutkan secara eksplisit tentang “Hukuman mati” yang diberikan oleh pelaku apabila yang menyuap dan disuap.
            Oleh karenanya, walaupun hukuman mati bagi kasus penyuapan itu tidak ada dan tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, hal tersebut mempunyai implikasi yang sangat luas bagi masyarakat khususnya lembaga peradilan itu sendiri. Apalagi, yang terjerat adalah seorang ketua MK itu sendiri yang merupakan contoh dan panutan bagi hakim MK yang lainnya dan hakim-hakim pada umumnya. Bisa dikatakan Akil Mochtar dapat dikenakan hukuman mati, walaupun belum ada yurisprudensi untuk itu. Karena, untuk membuat efek jera pada pelakunya itu sendiri.

Kasus Hukum Akil Mochtar dalam Sosiologi Hukum
Jika kita dapat menarik kasus ini ke dalam sosiologi hukum, hal ini merupakan hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial. Hubungan timbal balik disini bersifat negatif, dikarenakan ketua MK tersebut sudah melanggar kode etik kehakiman serta melakukan tindak pidana korupsi terkait kasus suap inilah yang dimaksudkan ke dalam hubungan timbal balik yang bersifat negatif. Dan ketika diberlakukannya hukum di sebuah Negara maka hukum ini mempunyai tujuan sebagai alat pengatur manusia yang sifatnya memaksa sehingga semua orang harus tunduk kepada hukum demi terciptanya keadaan yang tertib dan adil.
Setelah adanya kasus ini Mahkamah Konstitusi perlu pengawasan internal maupun eksternal, agar menjadi lembaga peradilan yang berwibawa sekaligus bermartabat, dan pengawasan terhadap MK, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku hakim konstitusi. MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara mapan. Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan Hakim, tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim. MK juga tidak mau diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk pengawasan terhadap MK. Sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull), dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dari Mahkamah Agung ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull. Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa ini.
Ketika MK sangat kuat dan tidak ada lembaga yang memeriksa dan menyeimbangkan (check and balance), maka tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, sehingga berpotensi penyalahgunaan wewenang. Ini sudah memunculkan kecemasan masyarakat terhadap hukum di Negara ini. Tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap, maka menjadi satu bukti bahwa pimpinan lembaga yang tidak mau diawasi itu menyalahgunaan kekuasaan
.Atas dasar itulah sudah saatnya MK diawasi oleh lembaga pengawas internal maupun eksternal. Pengawas eksternal dilakukan oleh KY, karena KY merupakan lembaga yang secara konstitusional berwenang untuk itu, meskipun tidak secara eksplisit disebut dalam UUD 1945.  Bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang akan diterbitkan Presiden mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial (KY) mengawasi Mahkamah Konstitusi, sebab Mahkamah Agung diawasi KY. Dan begitupun MK juga seharusnya diawasi KY. Karena MA dan MK sama-sama lembaga kekuasaan kehakiman, maka idealnya diawasi oleh satu lembaga saja, yaitu KY. Kewenangan pengawasan KY dalam undang-undang saat ini tidak maksimal, karena tidak bisa memberikan skorsing atau memecat hakim.
Dalam kasus jebolnya benteng pertahanan konstitusi ini Presiden SBY mempersiapakan Perpu yang dinilai oleh Presiden bahwa ia wajib mengeluarkan Perpu tersebut karena kasus ini dinilai mengancam keadaan Negara. Walaupun tidak ada standar kegentingan tertulis yang menyebabkan kapan Perpu itu dikeluarkan.
Terlalu berlebihan memang jika ini dikategorikan sebagai kasus yang mengancam Negara dan digadang-gadangkan dengan kalimat “Jebolnya Benteng Pertahanan Konstitusi”. Tetapi untuk para politisi atau pejabat Negara ini adalah sesuatu hal seharusnya biasa saja sebab mereka semua tau latar belakang Akil Mochtar yaitu sebagai politisi jadi kemungkinan untuk korupsi dan semacamnya ini mungkin saja terjadi. Karena dari awal Akil Mochtar sudah diawasi oleh KPK dan sudah mulai terendus oleh KPK bahwa akan terjadi hal seperti ini.
Muncul lagi pernyataan bahwa didalam penyidikan terdapat pengembangan pemeriksaan , dilihat di dalam MK terdapat 9 hakim yang menyelesaikan kasus sengketa Pemilikada tersebut, inilah yang dimaksudkan pengembangan pemeriksaan di KPK. Mungkinkah akil melakukan sendiri hal ini apakah hakim MK ada juga yang turut serta dalam masalah suap ini. Ini menjadi acuan lagi bagi Presiden agar tetap mengeluarkan Perpu tersebut.
Perpu yang akan dikeluarkan Presiden terkait kasus Akil Mochtar ini bertujuan sebagai penangkal kecemasan masyarakat terhadap kepastian dan keadilan hukum yang ada di Negara ini. Tidak hanya sekadar Perpu yang dikeluarkan Presiden saja untuk menangkal kecemasan kasus ini tetapi juga MK perlu waktu lama membangun kembali citranya serta membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap kewenangan MK. Mengembalikan nama baik MK tersebut juga tidak semudah yang dibayangkan, dan tentunya harus memerlukan proses yang cukup panjang.
Egois memang  ketika kita hanya menyalahkan Akil Mochtar saja tetapi tidak adanya kepatian hukum yang pasti untuk menindaknya, ini juga perlu ada sebuah lembaga yang mempumyai kekuatan yang tinggi yaitu DPR, harus menyelenggarakan rapat paripurna,  merestorasi sistem hukum di Negara Indonesia. Ketika hukum ditegakan untuk memberantas oknum para penegak hukum janganlah bersembunyi “seperti seorang polisi lalu lintas yang menunggu oknum pelanggar hukum atau yang melanggar lalu lintas di balik pohon dan ketika oknum itu sudah terlihat melanggar lalu lintas maka polisi itu pun muncul dari balik pohon untuk menegurnya dan memberikan sanksi, sebaiknya dari awal sudah menunjukan bahwa penegak hukum itu ya memang terbukti untuk menegakan hukum”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar