Dimulai dari pengertian sosiologi
hukum itu sendiri, menurut R.Otje Salman adalah ilmu yang mempelajari hubungan
timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya secara empiris analistis..
Kemudian kita lihat juga latar belakang terlahirnya sosiologi hukum. Sosiologi
hukum dipengaruhi oleh beberapa disiplin ilmu yaitu: filsafat hukum, ilmu
hukum, dan sosiologi yang kajiannya berorientasi pada hukum.
1. Filsafat
Hukum
Di dalam kajiannya filsafat
hukum, salah satu pokok bahasan adalah aliran-aliran filsafat hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum yang menjadi penyebab lahirnya sosiologi hukum
adalah aliran Positivisme. Aliran dimaksud, dikemukakan oleh Hans Kelsen melalui
teori Stufenbau des Recht-nya. Menurutnya
“Hukum itu bersifat hierarkis”. Artinya: “Hukum itu tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan yang lebuh atas derajatnya”. Dana adapula beberapa aliran
filsafat hukum yang emndorong tumbuh dan berkembangnya sosiologi hukum, salah
satunya adalah Aliran Sociological
Jurisprudence, dari Eugen Ehrlich, yang konsepsinya: “hukum yang dibuat
harus sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law).
2. Ilmu Hukum
Kajian ilmu hukum yang menganggap
bahwa “hukum sebagai gejala sosial”, banyak mendorong pertumbuhan sosiologi
hukum.
3. Sosiologi
yang Berorientasi pada Hukum
Para
sosiolog berorientasi bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada solidaritas, ada
solidaritas organis adapula solidaritas mekanis. Solidaritas mekanis, yaitu
terdapat dalam masyarakat sedrhana, hukumnya bersifat represif yang
disosiasikan seperti dalam hukum pidana. Sedangakan solidaritas organis, yaitu
terdapat dalam masyarakat modern, hukumnya bersifat restitutif yang
diasosiasikan seperti dalam hukum perdata.
Kasus
Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi)
Mahkamah
Konstitusi merupakan sebuah lembaga peradilan yang dibentuk sekitar tahun 2003
pasca reformasi ketatanegaraan dengan diadakannya amandemen sebanyak 4 kali
dimulai dari tahun 1999-2002. MK juga lembaga peradilan kedua setelah
sebelumnya terdapat lembaga peradilan yang lain yaitu Mahkamah Agung (MA).
Tugas dari MK ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Dan juga, MK dikenal dengan
sebutan Guardian of the Constitution
(Pengawal UUD).
Ketua MK yang bermasalah yaitu Akil Mochtar, ia ditangkap
oleh KPK, pada saat transaksi suap yang dilakukan oleh Tubagus Ari Wardana
(Suami dari Walikota Tanggerang Selatan) sekaligus adik dari Gubernur Banten
yaitu Ratu Atut Chosiyah bersama Chaerunnisa seorang pengacara. Akil Mochtar
ditangkap di rumah dinasnya pada saat melakukan transaksi suap untuk kasus
PILKADA Lebak Banten. Selain itu, di dalam ruang kerjanya terdapat obat-obatan
terlarang.
Dalam kasus ini Akil Mochtar bisa dikenakan Pasal 12 c UU
Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP atau Pasal 6 Ayat 2 jo Pasal 55 Ayar 1
ke-1 KUHP. Hukuman yang akan dijatuhkan terhadapnya minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun
penjara. Sedangkan, terkait dengan kepemilikan narkoba oleh Akil Mochtar bisa
dikenakan Pasal 111 dan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di
dalam peraturan perundang-undangan memang Akil Mochtar bisa dikenakan
pasal-pasal yang disebutkan di atas. Selain itu, ada hal yang menarik dari
kasus Akil Mochtar ini, banyak yang berkomentar bahwa hukuman yang paling tepat
untuk Akil Mochtar adalah hukuman mati. Di dalam peraturan perundang-undangan
tidak disebutkan secara eksplisit tentang “Hukuman mati” yang diberikan oleh
pelaku apabila yang menyuap dan disuap.
Oleh karenanya, walaupun hukuman mati bagi kasus
penyuapan itu tidak ada dan tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, hal tersebut mempunyai implikasi yang sangat luas bagi masyarakat
khususnya lembaga peradilan itu sendiri. Apalagi, yang terjerat adalah seorang
ketua MK itu sendiri yang merupakan contoh dan panutan bagi hakim MK yang
lainnya dan hakim-hakim pada umumnya. Bisa dikatakan Akil Mochtar dapat
dikenakan hukuman mati, walaupun belum ada yurisprudensi untuk itu. Karena,
untuk membuat efek jera pada pelakunya itu sendiri.
Kasus
Hukum Akil Mochtar dalam Sosiologi Hukum
Jika
kita dapat menarik kasus ini ke dalam sosiologi hukum, hal ini merupakan
hubungan timbal balik antara hukum dan gejala sosial. Hubungan timbal balik
disini bersifat negatif, dikarenakan ketua MK tersebut sudah melanggar kode
etik kehakiman serta melakukan tindak pidana korupsi terkait kasus suap inilah
yang dimaksudkan ke dalam hubungan timbal balik yang bersifat negatif. Dan
ketika diberlakukannya hukum di sebuah Negara maka hukum ini mempunyai tujuan
sebagai alat pengatur manusia yang sifatnya memaksa sehingga semua orang harus
tunduk kepada hukum demi terciptanya keadaan yang tertib dan adil.
Setelah
adanya kasus ini Mahkamah Konstitusi perlu pengawasan internal maupun
eksternal, agar menjadi lembaga peradilan yang berwibawa sekaligus bermartabat,
dan pengawasan terhadap MK, karena selama ini tidak ada yang mengawasi perilaku
hakim konstitusi. MK tidak mempunyai mekanisme pengawasan internal secara
mapan. Jika pun ada, dinilainya, wewenang itu ada pada Majelis Kehormatan
Hakim, tetapi sifatnya lebih kepada pengawasan represif, karena majelis ini
baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim. MK juga tidak mau
diawasi oleh lembaga pengawas eksternal. Ketika pengujian UU Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial, MK membatalkan fungsi pengawasan KY, termasuk
pengawasan terhadap MK. Sejak putusan itu MK menjadi lembaga yang sangat kuat (powerfull),
dan seiring dengan berpindahnya penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah dari
Mahkamah Agung ke MK, maka lembaga peradilan konstitusi itu menjadi semakin powerfull.
Bayangkan, masalah sengketa ratusan pilkada di seluruh Indonesia akan
ditentukan nasibnya hanya oleh sembilan hakim konstitusi, belum lagi wewenang
MK lainnya yang membuat kekuasaan MK begitu besar dalam menentukan nasib bangsa
ini.
Ketika MK sangat kuat dan
tidak ada lembaga yang memeriksa dan menyeimbangkan (check and balance),
maka tidak ada lembaga yang mengawasi perilaku para hakimnya, sehingga
berpotensi penyalahgunaan wewenang. Ini sudah memunculkan kecemasan masyarakat
terhadap hukum di Negara ini. Tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap, maka menjadi satu bukti bahwa
pimpinan lembaga yang tidak mau diawasi itu menyalahgunaan kekuasaan
.Atas dasar itulah sudah
saatnya MK diawasi oleh lembaga pengawas internal maupun eksternal. Pengawas
eksternal dilakukan oleh KY, karena KY merupakan lembaga yang secara
konstitusional berwenang untuk itu, meskipun tidak secara eksplisit disebut
dalam UUD 1945. Bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
yang akan diterbitkan Presiden mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial (KY)
mengawasi Mahkamah Konstitusi, sebab Mahkamah Agung diawasi KY. Dan begitupun
MK juga seharusnya diawasi KY. Karena MA dan MK sama-sama lembaga kekuasaan
kehakiman, maka idealnya diawasi oleh satu lembaga saja, yaitu KY. Kewenangan
pengawasan KY dalam undang-undang saat ini tidak maksimal, karena tidak bisa
memberikan skorsing atau memecat hakim.
Dalam kasus jebolnya benteng
pertahanan konstitusi ini Presiden SBY mempersiapakan Perpu yang dinilai oleh
Presiden bahwa ia wajib mengeluarkan Perpu tersebut karena kasus ini dinilai
mengancam keadaan Negara. Walaupun tidak ada standar kegentingan tertulis yang
menyebabkan kapan Perpu itu dikeluarkan.
Terlalu berlebihan memang jika
ini dikategorikan sebagai kasus yang mengancam Negara dan digadang-gadangkan
dengan kalimat “Jebolnya Benteng Pertahanan Konstitusi”. Tetapi untuk para
politisi atau pejabat Negara ini adalah sesuatu hal seharusnya biasa saja sebab
mereka semua tau latar belakang Akil Mochtar yaitu sebagai politisi jadi
kemungkinan untuk korupsi dan semacamnya ini mungkin saja terjadi. Karena dari
awal Akil Mochtar sudah diawasi oleh KPK dan sudah mulai terendus oleh KPK
bahwa akan terjadi hal seperti ini.
Muncul
lagi pernyataan bahwa didalam penyidikan terdapat pengembangan pemeriksaan ,
dilihat di dalam MK terdapat 9 hakim yang menyelesaikan kasus sengketa
Pemilikada tersebut, inilah yang dimaksudkan pengembangan pemeriksaan di KPK.
Mungkinkah akil melakukan sendiri hal ini apakah hakim MK ada juga yang turut
serta dalam masalah suap ini. Ini menjadi acuan lagi bagi Presiden agar tetap
mengeluarkan Perpu tersebut.
Perpu yang akan dikeluarkan
Presiden terkait kasus Akil Mochtar ini bertujuan sebagai penangkal kecemasan
masyarakat terhadap kepastian dan keadilan hukum yang ada di Negara ini. Tidak
hanya sekadar Perpu yang dikeluarkan Presiden saja untuk menangkal kecemasan
kasus ini tetapi juga MK perlu waktu lama membangun kembali citranya serta membangun kembali
kepercayaan masyarakat terhadap kewenangan MK. Mengembalikan
nama baik MK tersebut juga tidak semudah yang dibayangkan, dan tentunya harus
memerlukan proses yang cukup panjang.
Egois memang ketika kita hanya menyalahkan Akil Mochtar
saja tetapi tidak adanya kepatian hukum yang pasti untuk menindaknya, ini juga
perlu ada sebuah lembaga yang mempumyai kekuatan yang tinggi yaitu DPR,
harus menyelenggarakan rapat paripurna,
merestorasi sistem hukum di Negara Indonesia. Ketika hukum ditegakan
untuk memberantas oknum para penegak hukum janganlah bersembunyi “seperti
seorang polisi lalu lintas yang menunggu oknum pelanggar hukum atau yang
melanggar lalu lintas di balik pohon dan ketika oknum itu sudah terlihat
melanggar lalu lintas maka polisi itu pun muncul dari balik pohon untuk
menegurnya dan memberikan sanksi, sebaiknya dari awal sudah menunjukan bahwa
penegak hukum itu ya memang terbukti untuk menegakan hukum”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar